News

Ini Potensi Konflik Pilkada Aceh

Senin, 29 Agustus 2016

BANDA ACEH – Katahati Institute bekerja sama dengan Badan Kesbangpol Linmas Aceh menyelenggarakan Focus Group Discussion (FGD) di Banda Aceh, Jumat, 26 Agustus 2016.

FGD dihadiri Wakil Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, Basri M. Sabi, Ketua Bawaslu Aceh, Asqalani, Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh, Adrian, Kepala Badan Kesbangpol Linmas, Saidan Nafi, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh, Adi Warsidi, perwakilan Organisasi Masyarakat Sipil Aceh, BEM Universitas Muhammadiyah Aceh, Unsyiah dan UIN Ar-Raniry.

Kepala Badan Kesbangpol Linmas Aceh, Saidan Nafi dalam sambutannya menyebutkan, ada dua fase yang seharusnya menjadi fokus saat Pilkada Aceh digelar. Pertama adalah bagaimana proses pilkada dilaksanakan dan melihat dengan optimis pembangunan ke depan setelah pemimpin terpilih.

“Meskipun tahapan pilkada perlu menjadi fokus banyak pihak, namun tentu tanpa mengabaikan proses pembangunan berkelanjutan nantinya karena pemimpin terpilih nanti baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota akan melanjutkan program pembangunan. Salah satunya adalah bagaimana angka kemiskinan bisa diturunkan,” sebut Saidan Nafi.

Terkait konflik menjelang pilkada, Saidan Nafi menyebutkan, sudah mulai terlihat tanda-tanda seperti penembakan posko calon kepala daerah. Lalu, saat pengumpulan fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) untuk calon independen juga dibayar Rp100 ribu. Ini dinilai akan menimbulkan konflik antara masyarakat dengan geuchik maupun masyarakat dengan calon pemimpin.

“Kemarin memang sudah dilaksanakan ikrar Pilkada Damai yang dihadiri oleh para kandidat kepala daerah. Namun meskipun kegiatan dilaksanakan, tapi konflik tetap terjadi di lapangan dan ini juga terjadi pada pilkada sebelumnya,” sambung Saidan Nafi.

Yarmen Dinamika yang menjadi pemetari dalam FGD tersebut dalam makalahnya menyampaikan ada beberapa potensi konflik jelang pilkada Februari 2017. Seperti persoalan regulasi atau Qanun tentang Pilkada yang belum selesai dibahas DPRA. “Ini merupakan konflik yang paling besar sedang terjadi, karena Qanun Pilkada belum selesai, maka KIP Aceh saat ini masih memakai peraturan yang dibuat oleh KPU,” sebutnya.

Dia menambahkan, hal lainnya adalah konflik internal partai pendukung seperti calon yang tidak mendapat dukungan dari partai.

Kepala Biro Hukum Pemerintah Aceh, Edrian mengatakan, konflik regulasi yang hingga saat ini belum selesai akan membuka ruang konflik pilkada seperti UU tentang Pemilu diamandemen, sehingga berimbas kepada peraturan daerah khusus atau daerah istimewa, seperti Aceh, DKI Jakarta, Papua dan Papua Barat dan DI Yogyakarta.

“Yang menjadi masalah sekarang adalah, Qanun tentang Pilkada belum bisa dipakai karena sedang direvisi, kita harapkan DPRA segera menyelesaikan revisi qanun tersebut,” ujar Edrian.

Ketua Bawaslu Aceh, Asqalani mengatakan, selain regulasi dan anggaran pelaksana pilkada, netralitas penyelenggara juga menjadi potensi konflik, termasuk jumlah Daftar Pemilih Tetap serta politik uang.

“Potensi konflik juga dapat terjadi kerena sengketa pilkada, baik peserta dengan peserta maupun peserta dengan penyelenggara,” sebutnya.

Selain itu, ancaman bagi Pegawai Negeri Sipil yang tidak mendukung salah satu calon. Misalnya, jika tidak mendukung salah satu kandidat, PNS itu akan dimutasi dan ancaman lainnya.

“Keterlibatan geuchik sebagai PPS juga menjadi potensi konflik di tingkat gampong, dan potensi konflik lainnya hingga saat ini belum ada tim pengawasan khusus untuk verifikasi faktual untuk dukungan calon independen,” sebut Asqalani.

Direktur Katahati Institute, Raihal Fajri mengatakan, pemilihan langsung kepala daerah merupakan pesta demokrasi yang diselenggarakan di daerah-daerah. Namun layaknya sebuah pesta, semuanya tidak selalu akan berjalan mulus dan sesuai harapan. Salah satu batu sandungan yang akan sangat menjadi konsentrasi banyak pihak, baik para petarung maupun pemilih adalah potensi konflik.

“Belajar dari pengalaman pelaksanaan pilkada sebelumnya, konflik bahkan terjadi hingga merenggut nyawa. Tentu hal ini tidak diharapkan dalam alam damai pasca perjanjian damai di Helsinki sebelas tahun silam,” sebut Raihal, dalam siaran pers.

Menurut Raihal, meskipun ikrar para pihak telah digaungkan pada saat launching Pilkada Damai beberapa waktu lalu, namun gema potensi konflik jelang pilkada mulai bersahutan. Tidak ada pihak yang bertanggung jawab dan mau mengaku siapa pelaku dan apa motifnya. Sehingga saat letusan senjata di salah satu posko pemenangan kandidat hanya berlalu tanpa adanya pelaku yang jelas dan apa motifnya.

“Walaupun banyak pihak dan pengamat kemudian mulai mengeluarkan argumen beragam sesuai kapasitas dan latar belakang pengetahuan masing-masing, namun ini tidak bermuara pada pengungkapan dan penyelesaian kasus,” ujar Raihal.

Peta konflik jelang pilkada di Aceh sudah coba digambarkan dalam berbagai forum diskusi, baik secara formal maupun sekadar percakapan di warung kopi. Namun wacana ini terus menggelinding seiring dengan putaran waktu yang hampir tiba pada saat pencoblosan.

“Regulasi yang masih karut-marut menjadi potensi konflik besar pada pilkada mendatang. Bagaimana tidak, saat ini perubahan Qanun Nomor 5 tahun 2012 masih berada di meja DPRA. Komisi Independen Pemilihan Aceh telah mengingatkan Pemerintah Aceh dan DPRA untuk segera melakukan perubahan terhadap qanun ini yang dianggap tidak relevan lagi terutama terkait pasal bersayap. Sebagaimana kita ketahui Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) pasal 73 ayat (2) menyebutkan bahwa tahapan pilkada harus berpedoman pada qanun,” ungkap Raihal.

Raihal mengatakan, ini sangat ajaib. Peluit tanda pertarungan telah dimulai atau ditiupkan, namun aturan pertempuran belum ada. Dampaknya yang paling besar kemudian adalah para pihak yang harus meninggalkan gelanggang setelah pertarungan usai akan menjadi pihak yang akan menggugat hasil kemenangan pihak lain karena pertarungan tanpa acuan yang jelas.

“Kita berharap DPRA dan Pemerintah Aceh segera menyelesaikan dialektika kepentingan masing-masing agar potensi konflik regulasi tidak berkepanjangan dan menodai pilkada damai yang telah diikrarkan oleh para pihak,” pungkas Raihal.[] (rel)

http://portalsatu.com/read/news/ini-potensi-konflik-pilkada-aceh-16899