News

Melihat Bagaimana Pengaruh Tingkat Pendidikan Serta Kontrol Sosial Orang Tua Terhadap Perilaku Menikah Dini

Jumat, 04 November 2022

Penulis: Najwa Rusydi

Pernikahan  dini  merupakan  salah  satu  fenomena  yang  kini  sedang  booming, pernikahan dini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh anak di bawah umur.

Setiap negara tentunya memiliki batasan umur yang berbeda-beda mengenai kategori anak itu sendiri. Bahkan dari beberapa lembaga atau organisasi internasional pun juga demikian mengatur hal tersebut.

Menurut UNFPA (United Nations Population Fund). Pernikahan dini adalah pernikahan di mana kedua calon pengantin atau salah satunya berusia di bawah 18 tahun. Definisi ini sejalan dengan Konvensi Hak-hak Anak, yang menyatakan bahwa seseorang diklasifikasikan sebagai anak jika berusia di bawah 18 tahun.

Pernikahan di bawah usia 18 tahun merupakan kenyataan yang sangat banyak dihadapi oleh lingkungan sekitar kita, Remaja di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Meskipun Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tahun 1954 secara khusus menentang pernikahan dini, ironisnya praktik pernikahan dini terus berlanjut di banyak bagian dunia, hal ini mencerminkan perlindungan yang diabaikan terhadap hak-hak kaum muda. Latar belakang atau alasan yang berbeda menjadi landasan yang kuat bagi pernikahan dini. Di antaranya adalah budaya yang mendarah daging di masyarakat, cara berpikir orang tua, agama, ekonomi dan banyak aspek Penegakan hukum seringkali tidak efektif dan dilanggar oleh adat dan tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat (Pambudy, 2008).

Penyebab pernikahan dini menurut Choa (2001) dan Sibagariang (2010) adalah rendahnya pendidikan pada anak muda, tekanan ekonomi, faktor sosial budaya dan modernisasi. Berkaitan dengan keuangan keluarga, orang tua beranggapan bahwa jika anak perempuan telah melamar dan meminta kawin, maka dianggap paling tidak ia sudah mandiri dan tidak lagi bergantung pada orang tuanya, karena sudah ada laki-laki yang siap mendukungnya. Namun usia para gadis belum mencapai usia dewasa baik fisik maupun mental. Sayangnya, dari gadis-gadis itu juga menikah dengan laki-laki dengan status ekonomi yang sama, sehingga hal ini lah yang menciptakan kemiskinan baru di Indonesia dan tak kunjung menurun angkanya.

Agar anak terlindungi dari pernikahan dini, ada baiknya orang tua memperhatikan syarat untuk melangsungkan perkawinan. Dalam Revisi Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 Nomor 1 disebutkan bahwa syarat untuk dapat melangsungkan adanya perkawinan bagi seorang laki-laki dan perempuan adalah sama-sama berusia 19 tahun. Sulitnya mencegah pernikahan dini disebabkan adanya dispensasi yang diperbolehkan seperti anak usia 16 tahun boleh menikah, namun harus ada ijin dari orang tua dan ijin dari pengadilan setempat.

Bedasarkan data negara Indonesia menempati posisi 2 di ASEAN dan posisi 8 di dunia untuk praktik pernikahan Awal (kompas.com, 2021). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ada 1.220.900 anak melakukan Pernikahan dini di Indonesia.

Dalam penulisan ini, penulis memilih teori konstruksi sosial atas realitas dari Peter L. Berger dan Thomas Lukhmann karena konsep yang dikemukakan pada teori ini dirasa relevan dengan kajian yang penulis buat.

Teori konstruksi sosial atau social construction Peter L. Berger dan Thomas.Luckman merupakan teori sosiologi kontemporer yang berpijak pada sosiologi pengetahuan. Di dalam teori ini terkandung pemahaman bahwa kenyataan dibangun secara sosial serta kenyataan dan pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya. Kenyataan didefinisikan sebagai  suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-fenomena yang kita akui sebagai memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri (kita tidak dapat meniadakannya dengan angan-angan), sedangkan pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa fenomena-fenomena itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik (Berger, 2018:1).

Berger & Luckmann berpandangan bahwa kenyataan itu dibangun secara sosial, dalam pengertian individu-individu.dalam masyarakat itulah yang membangun masyarakat. Maka pengalaman individu tidak terpisahkan dengan masyarakatnya. Berger memandang manusia sebagai pencipta kenyataan sosial yang objketif melalui tiga momen dialektis yang simultan yaitu eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi.

Menurut Berger dan Luckmann, realitas sosial tidak berdiri sendiri melainkan dengan.kehadiran individu, baik di dalam maupun di luar realitas tersebut. Realitas sosial tersebut memiliki makna ketika realitas sosial tersebut dikonstruksi dan dimaknakan secara subjektif oleh individu lain sehingga memantapkan realitas itu secara objektif. Individu mengkonstruksi realitas sosial dan merekonstruksinya dalam dunia realitas, memantapkan realitas itu berdasarkan subjektivitas individu lain dalam institusi sosialnya.