News
Pilkada Aceh Jangan Sampai Berdarah-darah
Senin, 29 Agustus 2016
BANDA ACEH – Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dsn Perlindungan Bangsa (Kesbangpol & Linmas) Aceh, Drs Saidan Nafi SH MHum, berharap agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2017 di Aceh yang tahapannya dimulai tahun ini jangan sampai berdarah-darah dan menelan korban jiwa, seperti yang terjadi pada Pilkada 2012.
“Sudah cukuplah pengalaman buruk dalam berpolitik dan berdemokrasi seperti itu terjadi di Aceh empat tahu lalu. Jangan lagi terulang sekarang. Semua unsur harus berupaya mewujudkan agar Pilkada Aceh berlangsung damai. Jangankan berdarah-darah, berdarah saja pun tidak boleh,” kata Saidan Nafi saat membuka Dialog Publik Mendeteksi Potensi Konflik dalam Pilkada di Aceh.
Acara tersebut berlangsung di Aula Kesbangpol dan Linmas Aceh, Jumat (26/8) sore, diikuti sekitar 40 peserta. Terdiri atas unsur penyelenggara dan pengawas Pilkada Aceh, birokrat, aktivis LSM, aktivis perempuan, pemuda, dan pengurus BEM dari PTN dan PTS di Banda Aceh dan Aceh Besar.
Diskusi tersebut menghadirkan narasumber tunggal, Yarmen Dinamika selaku Redaktur Pelaksana Harian Serambi Indonesia. Dimoderatori oleh Raihal Fajri, Direktur Eksekutif Katahati Institute. Lembaga ini yang bekerja sama dengan Kesbangpol & Linmas Aceh dalam menyelenggarakan diskusi publik tersebut.
Yarmen menyatakan, dalam Rancangan Perubahan Qanun Pilkada 2017 yang sudah dibahas DPRA bersama Pemerintah Aceh terdapat beberapa syarat menjadi kepala/wakil kepala daerah yang potensial memicu konflik. Misalnya, ada ketentuan bahwa calon kepala daerah tidak boleh orang yang pernah melakukan perbuatan tercela. Tapi tidak diatur rumusan apa itu perbuatan tercela sebenarnya.
Di pasal penjelasan memang ada disebutkan empat contoh perbuatan tercela, yakni khamar, maisir, khalwat, dan zina. Tapi dalam sistem peradilan Islam, sebagaimana diatur dalam Qanun Jinayat Aceh, pembuktian terhadap jarimah zina, sungguh sangat tidak mudah.
Lebih gawatnya lagi, ulas Yarmen, tidak disebut pula secara gamblang lembaga atau pihak mana yang berhak menyatakan seorang kandidat kepala/wakil kepala daerah bebas dari perbuatan tercela. “Ini berpeluang menjadi pasal karet dan multitafsir yang sengaja dicantumkan untuk menjegal kandidat tertentu. Sebab, orang yang pernah korupsi dan menerima suap pun tetap bisa digolongkan melakukan perbuatan tercela. Padahal Mahkamah Konstitusi sudah memperbolehkan mantan narapidana, termasuk mantan napi korupsi, ikut pilkada di Aceh,” kata Yarmen.
Ia juga membeberkan potensi konflik pilkada khas masing-mssing kabupaten/kota di Aceh, dan yang paling rawan kondisinya kini adalah di Aceh Timur. Bukan saja di sini sudah terjadi penembakan terhadap posko pemenangan Nek Tu, Rabu (24/8) dini hari, tapi juga di kabupaten ini belum dilantik komisioner KIP-nya sebagai penyelenggara Pilkada 2017.
“Di sini ada KIP jilid 1 dan 2, tapi belum jelas mana yang akan dikukuhkan bupati sebagai penyelenggara pilkada. Hasil dari penyelenggaraan pilkada di daerah ini berpeluang digugat ke MK jika dilaksanakan bukan oleh KIP yang semestinya,” tambah Yarmen.
Askhalani MH dan Dr Muklir dari Bawaslu Aceh juga menambahkan bahwa netralitas penyelenggara pilkada di Aceh termasuk dalam pemantauan intensif mereka, sebab jika penyelenggara pilkada tak netral ini pun dapat memicu konflik, bahkan sengketa pilkada. Demikian pula dengan praktik money politic.
Askhalani bahkan menambahkan, verifikasi faktual syarat dukungan fotokopi KTP bagi calon independen di seluruh Aceh saat ini berlangsung tanpa pengawasan optimal oleh panwascam. Sebab, belum semua panwascam dilantik atau kalaupun sudah dilantik, sebagiannya masih terkendala dengan anggaran kerja yang belum cair.(mas)
http://aceh.tribunnews.com/2016/08/28/pilkada-aceh-jangan-sampai-berdarah-darah?