KKR: Penyelesaian kasus secara non Yudisial (Refleksi pasca penetapan komisioner KKR)
Sabtu, 10 September 2016
Lahirnya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) merupakan perwujudan dari UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA). Komisi ini bertujuan untuk mengungkap sejumlah fakta pelanggaran atas hak-hak manusia semasa konflik di Aceh. Tidak hanya itu saja, KKR di bentuk setelah banyak melakukan pertimbangan untuk kemaslahan dan keamanan Aceh pasca MoU Helsinki di Finlandia, Eropa Utara.
Pasca terbentuknya komisioner KKR Aceh yang berjumlah 7 orang melalui serangkaian tes sampai uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) yang terdiri dari Fajran Zain, Afridal Darmi, Muhammad MTA, Masthur Yahya, Fuadi, Evi Narti Zain dan Ainal Mardhiah sampai sekarang tidak kunjung dilantik. Bahkan, pasca ditetapkannya komisioner KKR, belum adanya kantor dimana tempat mereka akan bertugas yang notabenenya konsen terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di Aceh, baik yang dilakukan GAM maupun TNI.
Setelah penetapan komisioner KKR Aceh oleh komisi I DPRA pada tanggal 20 Juli 2016, alamat rumah KKR ini pun belum ada serta belum satu pun tugas yang sudah dijalani. 2 bulan berlalu dengan harapan KKR mampu untuk mengusut tuntas berbagai kasus pelanggaran HAM di Aceh, seperti kasus Jamboe Kupok di Aceh Selatan, Rumoh Geudong di Pidie, pembantaian Tgk. Bantaqiah di Beutong Ateuh, Nagan Raya serta penculikan Tgk. Ahmad Dewi di Idi.
Tentunya, semua kasus itu bukan menjadi sebuah rahasia lagi. Setiap kekerasan yang ada di Aceh selalu dimunculkan kasus-kasus tersebut. Kekerasan di atas contoh sebagian kecil yang dialami oleh masyarakat Aceh. Masih banyak kasus lainnya, seperti pembunuhan yang dituduh sebagai cuak dan lain sebagainya.
Sepuluh tahun sudah MoU Helsinki selalu diperingati di Aceh. Momentum ini merupakan kebanggaan bagi rakyat Aceh pasca dilalui dengan tragedy kemanusiaan, yaitu Tsunami. Berbagai aturan dibuat dan diperdalam berdasarkan turunan dari MoU Helsinki menjadi UUPA. Ada saja ulah pemerintah yang saat ini menuai pro dan kontra, sebut saja seperti qanun bendera dan lambang Aceh.
Terbentuknya KKR di Aceh tidak terlepas dari kebijakan pusat selama ini. Untuk itu Pemerintah Aceh seharusnya dapat mendorong pemerintah pusat dalam mendukung penuntasan setiap kasus pelanggaran HAM berat di Aceh. Begitu juga dengan kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah pusat untuk membantu KKR di Aceh dalam menyelesaikan berbagai kasus.
Pemerintah Pusat harus mengeluarkan kebijakan strategis terkait dengan penuntasan kasus pelanggaran HAM berat, dengan membentuk tim khusus Percepatan Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional. Tim ini terdiri dari tim gabungan yang ditunjuk Presiden untuk mendukung kelembagaan KKR Aceh, sebagai salah satu institusi pelaksana “executing agency” yang diakui Negara melalui Keputusan Presiden. Pemerintah pusat setidaknya mampu mendorong Kejaksaan Agung sebagai lembaga penegak hokum untuk dapat segera memproses pelimpahan berkas pelanggaran HAM yang telah dilimpahkan Komnas HAM beberapa saat yang lalu, seperti kasus Jambo Keupok secara cepat dan tepat. Yang terakhir, pemerintah pusat setidaknya dapat mempercepat pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, sebagaimana yang telah diamanatkan di dalam Pasal 43 UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai upaya penyelesaian Pro Justicia selain rekonsiliasi melalui KKR. Poin di atas merupakan hal yang sangat penting untuk diwujudkan dan didukung keberadaanya sekaligus sebagai lembaga penguatan kelembagaan KKR Aceh. (http://portalsatu.com/).
KKR harus mampu menuntas berbagai kasus pelanggaran HAM di Aceh semasa konflik dengan berbagai kasus itu pula, KKR dituntut untuk menyelesaikan kasus tersebut, mulai dari mengumpulkan berbagai kasus sampai pada tahap penyelidikan. Cara kerja KKR harus mengedepankan sikap yang arif, santun dalam bersikap, agar tidak menimbulkan efek buruk bagi pelaku HAM. KKR lebih pada menyelesaikan kasus secara non yudisial. Artinya, apabila KKR menemukan kasus pelanggaran HAM di Aceh, maka hendaknya dapat diselesaikan secara bijak dengan dalil-dalil pokok tindakan yang pernah dialakukan.
Begitu juga dengan masyarakat Aceh, pembentukan KKR dan kinerjanya sangat dinantikan. Saatini, hanya komisionernya saja yang telahter pilih dan belum menampakkan hasil kinerjanya. Ini menjadi persoalan serius, mengingat komisioner sudah ada. Berbagai kasus pelanggaran HAM sudah menantikan kedatangan para mantan aktivis ini. Sangat banyak kasus masa pelanggaran HAM di Aceh, mulai dari Barat Selatan Aceh, poros pesisir tengah, Timur Utara sampai Tengah Tenggara.
Jadi, apa saja kendala yang sedang dihadapi pemerintah dalam menyiapkan segala keperluan sarana dan prasarana KKR serta apa peran masyarakat dalam menemukan bukti pelanggaran HAM di Aceh?
Mari kita diskusikan persoalan ini, agar pemerintah dan lembaga lainnya agar secara cepat dan tepat memberikan kelengkapan sarana dan prasarana bagi KKR dengan harapan para komisioner ini cepat memulai kerjanya untuk mengungkap berbagai kasus di Aceh.
Kami mengundang Anda semua untuk berdiskusi, jika Anda memiliki kelonggaran waktu dan suasana batin yang sama, mari kita mulai!