News

Antisipasi Konflik Pilkada Aceh 2017

Senin, 29 Agustus 2016

KBRN, Banda Aceh: Direktur Katahati Institute, Raihal Fajri mengatakan, Pemilihan langsung kepala daerah merupakan pesta demokrasi yang diselenggarakan di daerah-daerah. Namun layaknya sebuah pesta, semuanya tidak selalu akan berjalan mulus dan sesuai harap. Salah satu batu sandungan yang akan sangat menjadi konsentrasi banyak pihak, baik para petarung maupun pemilih adalah potensi konflik.

“Belajar dari pengalaman pelaksanaan pilkada sebelumnya konflik bahkan terjadi hingga merenggut nyawa. Tentu hal ini tidak diharapkan dalam alam damai pasaca perjanjian damai di Helsinki sebelas tahun silam,” sebut Raihal.

Menurut Raihal, meskipun ikrar antar para pihak telah digaungkan pada saat Launching Pilkada Damai beberapa waktu lalu, namun gema potensi konflik jelang pilkada mulai bersahutan. Tidak ada pihak yang bertanggungjawab dan mau mengaku siapa pelaku dan apa motifnya. Sehingga saat letusan senjata di salah satu posko pemenangan salah satu kandidat hanya berlalu tanpa adanya pelaku yang jelas dan apa motifnya.

“Walaupun banyak pihak dan pengamat kemudian mulai mengeluarkan argumen beragam sesuai kapasitas dan latar belakang pengetahuan masing-masing, namun ini tidak bermuara pada pengungkapan dan penyelesaian kasus,” ujar Raihal.

Peta konflik jelang pilkada di Aceh sudah coba digambarkan dalam berbagai forum diskusi, baik secara formal maupun sekedar percakapan di warung kopi. Namun wacana ini terus menggelinding seiring dengan putaran waktu yang hampir tiba pada saat pencoblosan.

“Regulasi yang masih carut-marut masih menjadi potensi konflik besar pada pilkada mendatang, bagaimana tidak, saat ini perubahan Qanun nomor 5 tahun 2015 masih berada di meja DPRA dan belum ada agenda resmi untuk revisi. Komisi Independen Pemilihan Aceh telah mengingatkan Pemerintah Aceh dan DPRA untuk segera melakukan perubahan terhadap qanun ini yang dianggap tidak relevan lagi terutama terkait pasal bersayap. Sebagaimana kita ketahui Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) pasal 73 ayat (2) menyebutkan bahwa tahapan pilkada harus berpedoman pada qanun,” ungkap Raihal.

Raihal mengatakan, ini sangat ajaib, peluit tanda pertarungan telah dimulai telah ditiupkan namun aturan pertempuran belum ada. Dampaknya yang paling besar kemudian adalah para pihak yang kemudian harus meninggalkan gelanggang setelah pertarungan usai akan menjadi pihak yang akan menggugat hasil kemenangan pihak lain karena pertarungan tanpa acuan yang jelas.

“Kita berharap DPRA dan Pemerintah Aceh segera menyelesaikan dialektika kepentingan masing-masing agar potensi konflik regulasi tidak berkepanjangan dan menodai pilkada damai yang telah di ikrarkan oleh para pihak,” pungkas Raihal. (MjP/AKS)

http://rri.co.id/post/berita/303466/daerah/antisipasi_potensi_konflik_pilkada_aceh_2017.html